Babak baru perseteruan antara anggota DPR Fraksi PDIP Agus Condro dan Emir Moeis plus teman-teman berlanjut, dan sepertinya kasus ini akan berlanjut sampai pengadilan. Babak kedua setelah masuk pengadilan biasanya makin seru, apalagi kalau pengadilannnya dilakukan di Pengadilan Tipikor yang terkenal hakimnya sangat galak.
Sebagai rakyat Indonesia yang taat membayar pajak dan mengerjakan pekerjaan yang kadang berhubungan lanngsung dengan upaya penggalangan dana dari pajak, saya sangat menyesal. mengapa sedemikian bobroknya wakil rakyat kita. mengapa sedemikian bejatnya moral mereka. sama dengan pepatah maling teriak maling. Supaya tidak dituduh maling, atau paling tidak maling yang agak insaf, mereka mencoba mengelak, membuat statement bodoh dan tolol.
akankan negeri kita makin rusak dan tinggal puing-puing yang tidak berharga selain hutang yang menumpuk ribuan triliun? Ayo kita tetap optimis, ayo kita menjadi orang yang sedikit diantara mereka yang hidup di kerajaan hedonis membabi buta. Saya lampirkan berita JP edisi 21 Agustus 2008.
Emir Moeis Tantang Condro di Pengadilan
JAKARTA – Pernyataan Agus Condro yang mengaku menerima Rp 500 juta setelah pemilihan deputi gubernur senior Bank Indonesia pada 2004 terus menuai reaksi. Ketua Panitia Anggaran DPR Emir Moeis yang juga disebut-sebut ikut menerima uang serupa dengan tegas membantah.
”Saya bisa membuktikan bahwa saya tidak menerima uang tersebut. Tapi, saya akan lakukan hal itu di pengadilan,” ujar Emir kepada wartawan di Jakarta kemarin (20/8).
Anggota dewan dari PDIP itu mengungkapkan, tudingan korupsi tersebut telah dibicarakan di tingkat fraksi. ”Kok tiba-tiba menyebut nama Pak Tjahjo (Ketua Fraksi PDIP Tjahjo Kumolo, Red),” lanjutnya.
Agus Condro kemarin mendatangi ruang FPDIP DPR untuk menyampaikan klarifikasi resmi. Dia datang sekitar pukul 13.00 dan diterima Sekretaris Fraksi Bambang Wuryanto. Setelah mengadakan pertemuan tertutup sekitar satu jam, Agus Condro dan Bambang Wuryanto berbicara kepada puluhan wartawan di ruang Fraksi PDIP yang berada di lantai VIII Gedung Nusantara I Kompleks Parlemen Senayan.
”Kami sudah klarifikasi dan beliau (Agus Condro, Red) menceritakan kronologinya. Kalau ditanya bagaimana sikap fraksi, ini masih jam 12 siang, belum magrib (masih dini, Red). Jadi, kami belum mengeluarkan penilaian apa pun. Kecuali sampai pada tahap klarifikasi,” kata Bambang Wuryanto.
Sementara itu, Agus Condro berharap agar KPK bisa segera menindaklanjuti pengakuannya yang sudah diungkap dalam pemeriksaan tanggal 4 dan 8 Juli 2008. ”Maling yang mencuri dua ekor ayam dengan nilai maksimal seratus ribu saja kalau ketahuan digebuki, terus diserahkan ke polisi. Masa terima duit Rp 500 juta tidak diproses. Saya sendiri kalaupun harus diberi sanksi atau diberi vonis ya itu risiko. Bagaimanapun, saya belajar memperbaiki diri sendiri,” bebernya.
Mengapa tidak membuat pengaduan resmi ke KPK? ”Dari awal, saya ini tidak mau dianggap mengadukan teman. Mengapa ini sampai terbuka, kan gara-gara saya menjadi saksi di bawah sumpah untuk kasus aliran dana BI yang melibatkan Hamka Yandhu,” jelasnya.
Seperti diberitakan, Agus Condro pernah diperiksa KPK pada tanggal 4 dan 8 Juli 2008. Awalnya, pemeriksaan itu dilakukan untuk mengetahui kejelasan aliran dana BI ke anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 dengan tersangka anggota Fraksi Partai Golkar (FPG) Hamka Yandhu.
Kasus aliran dana BI itu adalah penyimpangan dana YPPI (Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia) Rp 100 miliar bahwa Rp 31,5 miliar di antaranya mengalir ke Komisi IX DPR dan Rp 68,5 mengalir untuk bantuan hukum para mantan pejabat BI. Sewaktu diperiksa KPK itulah, Agus Condro menegaskan tidak menerima Rp 250 juta dari Hamka Yandhu, tetapi hanya Rp 25 juta.
Selain itu, dia mengaku menerima Rp 500 juta dari Dudhie Makmun Murod yang juga anggota FPDIP DPR. Yang mengejutkan, Agus Condro menyebutkan uang Rp 500 juta itu tidak terkait amandemen UU BI (yang menyeret Hamka), tetapi diterima setelah pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda S. Goeltom.
Dalam penjelasannya kepada pers, Agus Condro kembali menceritakan kronologi pemberian Rp 500 juta di ruang kerja Emir Moeis. Menurut dia, uang itu diberikan dalam bentuk 10 lembar travel check BII yang masing-masing bernilai Rp 50 juta. ”Amplopnya berwarna putih,” ujarnya.
Uang itu, lanjut dia, diterima sekitar dua atau tiga minggu setelah pemilihan deputi gubernur senior Bank Indonesia yang memenangkan Miranda. Pemberinya adalah Dudhie Makmun Murod. Amplop-amplop itu, kata Agus, diambil dari meja kerja Emir Moeis.
”Walau tidak disebut uang apa, dikit-dikit ngerti, bisa menduga. Kalau nggak ada hujan, nggak ada angin, tahu-tahu ada orang bagi-bagi uang Rp 500 juta, itu orang pasti terlalu kaya. Setelah kerja, milih orang, dikasih duit, bisa saja begitu,” bebernya.
Selain Emir Moeis dan Dudhie Makmun Murod, Agus menyebutkan empat nama anggota FPDIP yang ikut menerima ”amplop putih” itu. Mereka adalah Willem Tutuarima, Budi Ningsih, Matheus Pormes, dan Muhammad Iqbal. ”Fraksi lain saya nggak tahu. Saya nggak mau ngomong yang nggak saya alami. Kalau menduga-duga, nanti saya malah menjurus ke fitnah,” tegasnya.
Secara terpisah, Sekretaris I FPDIP Ganjar Pranowo menyampaikan, fraksinya pasrah sepenuhnya kepada proses hukum yang berjalan. ”Kami menunggu KPK saja,” ujarnya.
Apakah fraksi akan mendorong Agus Condro untuk membuat pengakuan resmi ke KPK? ”Laporan apa lagi? KPK kan sudah punya catatan BAP. KPK pasti sudah melakukan sesuatu, nggak mungkin mereka diam,” katanya.
Menurut Ganjar, FPDIP hanya bisa mendorong Agus Condro untuk menjaga barang bukti. Yaitu, mobil Mercedez C 200 dan Hyundai Trajet yang sempat dikembalikan ke KPK pada 8 Juli 2008 sebagai ganti uang Rp 500 juta. Tapi, KPK meminta Agus membawa mobil itu pulang lagi dengan catatan tidak boleh dijual.
Sementara itu, Miranda Goeltom saat dikonfirmasi terkait keterangan Agus Condro memilih tidak memberikan tanggapan. ”Saya tidak ada tanggapan karena saya memang tidak tahu. Lebih baik ditanyakan kepada mereka yang memberikan pernyataan,” ujarnya.
Di tempat terpisah, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Marwan Effendy mengatakan, kejaksaan bisa saja menangani kasus BI berdasar kesaksian baru yang diungkapkan Agus Condro. Namun, kejaksaan tidak bisa bergerak aktif.
”Kalau KPK menyerahkan ke kami (kejaksaan, Red), ya kami yang menyidik,” ujar Marwan kepada koran ini tadi malam. Dia menjelaskan, semua kasus yang lebih dahulu ditangani KPK tidak bisa langsung ditangani kejaksaan atau kepolisian.
Namun, dia mengungkapkan, penyerahan untuk mengambil alih kasus tersebut sangat dimungkinkan. ”Jadi timbale balik. Bisa kami (kejaksaan, Red) ke KPK atau sebaliknya,” terang mantan Kapusdiklat Kejagung itu.
Ketua KPK Antasari Azhar tampak gusar dengan tekanan yang muncul di media terkait pernyataan Agus Condro tersebut. Dia menegaskan, belum tentu keterangan yang disampaikan Agus Condro itu dapat dipertanggungjawabkan. Dia membantah disebut bahwa KPK mengulur-ulur waktu untuk menindaklanjuti kasus tersebut. ”Ini kan keterangan satu orang. KPK harus menghormati kasus hukum karena ini sudah empat tahun dan tidak bisa instan seperti itu,” ujarnya ketika ditemui sesudah meresmikan Japto Center di Jalan Gandaria, Jakarta, kemarin.
Antasari menekankan bahwa KPK akan selalu bertindak profesional dan tidak akan main-main dengan penyidikan dan pemeriksaan. Apalagi, lanjut dia, ada indikasi bahwa kasus yang dimunculkan Agus Condro di media itu terkesan sarat motif tertentu.
”Ada laporan apa pun kami proses karena kami profesional. Kami masih perlu waktu untuk mengumpulkan bukti-bukti dan kesaksian lain,” cetusnya.
Walaupun ada indikasi keterlibatan Miranda S. Goeltom dan sejumlah rekan Agus Condro di Komisi IX DPR, KPK mengaku masih belum berencana memeriksa nama-nama tersebut. ”Sekarang kalau saya bilang Anda juga ikut terima uang itu Rp 5 juta, apa saya langsung main periksa? Kan tidak?” katanya. (pri/iw/fal/naz/zul/nw)
Filed under: Berita | Leave a comment »